KERAJAAN PAJAJARAN
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain
dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan
Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata
Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di
Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri
Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di
kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.
Awal Pakuan Pajajaran
Awal Pakuan Pajajaran
Seperti
tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah.
Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi.
Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula
pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali,
Kuningan, Jawa Barat.
Raden
Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima
dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu
Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang
Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan
Raden Barinbin.
Pernikahan
Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda.
Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan
itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh
dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.
Nyaris
terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut
besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja
Susuktunggal.
Untungnya,
kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua
raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada
putera mahkota yang ditunjuk.
Dewa
Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu
Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata
menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga
Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.
Selanjutnya
nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya”
Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.
Dari
catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun
catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain
mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja
Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat
perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan
Carita Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
•
Prasasti Batu Tulis, Bogor
•
Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
•
Prasasti Kawali, Ciamis
•
Prasasti Rakyan Juru Pangambat
•
Prasasti Horren
•
Prasasti Astanagede
•
Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
•
Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
•
Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
•
Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Segi
Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak
di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres
(1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan
Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari
Kalapa (Jakarta).
Kondisi
Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik
(Politik-Pemerintahan)
Kerajaan
Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja
yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar
raja Pajajaran
•
Sri
Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
•
Surawisesa
(1521 – 1535), bertahta di Pakuan
•
Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakua
•
Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
•
Ratu
Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
•
Raga
Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
•
Rahyang
Niskala Wastu Kencana
•
Rahyang
Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
•
Sri Baduga MahaRaja
•
Hyang
Wuni Sora
•
Ratu
Samian (Prabu Surawisesa)
•
dan
Prabu Ratu Dewata.
Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan
Pajajaran
Kerajaan
Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan.
Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat,
seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna,
senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan
Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang
pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.
Sang
Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama
Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia
memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua
pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan
(asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan
(tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti
dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.
Pembangunan
yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa
terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari
kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui
bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat
Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan,
pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti
dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Puncak Kehancuran
Puncak Kehancuran
Kerajaan
Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya
Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton
Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu
berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan
Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya
adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini
bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten
menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan
kata Sriman.
Kondisi
Kehidupan Ekonomi
Pada
umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama
perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan
perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu
Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk
(Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan
masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain
gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan
yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
Kehidupan
Budaya
Kehidupan
budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu.
Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang
Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
Kesimpulan
·
Kerajaan
Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di
Parahyangan (Sunda).
·
Sumber
sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab
cerita, dan berita asing.
·
Kerajaan
Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/
kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan
Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
KERAJAAN MAKASAR
PERKEMBANGAN
PERDAGANGAN DAN POLITIK EKSPANSI
Pada pertengahan abad XVII ekspor ke Malaka berupa rempah-rempah, bahan
makanana, bahan wangi-wangian, penyu, dan sebagainya. Beras menjadi barang
ekspor yang penting. Pala dan cengkeh didatangkan dari Banda oleh pedagang
Jawa, Melayu, dan kemudian orang Banda sendiri, akhirnya pedagang Makassar juga
aktif dalam perdagangan rempah-rempah itu. Setelah belanda mulai
menduduki pulau di daerah rempah-rempah itu, perdagangan yang menurut VOC
disebut “selundupan” itu sangan ramai di Makassar.
Dengan
perkembangan pelabuhan itu datanglah mengalir barang-banrang ke Makassar,
seperti sutera dan pecah-belah Cina dengan kapal Siam dan bahan pakaian dengan
kapal Portugis. Di beritakan pula bahwa di Makassar ada perdagangan budak
belian.
Meskipun
barang dagangan dikenakan bea-cukai 10% sehingga harga menjadi lebih mahal lagi
di pasaran Malaka, namun Portugis secara teratur mengirim kepalanya ketempat
tersebut, lebih-lebih setelah Belanda mulai merajalela di Maluku. Pada
dasawarsa kedua abad XVII pedagang Prancis dan Denmark juga muncul di Makassar.
Kalau
pada satu pihak lokasi Makassar dengan pelabuhannya yang baik sangat menarik
sebagai stasiun dalam pelayaran antara Maluku dan Malaka, maka pada pihak lain
kemunduran pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong perkembangannya yang pesat pada
bagian kedua abad XVII. Penduduk Malaka oleh Portugis (1511) mengakibatkan pula
suatu eksodus Melayu ke pelabuhan lain, antara lain ke Makassar. Makassar juga
menjadi pusat pemasaran hasil dari wilayah Indonesia Timur serta tempat
mengambil bahan makanan.
Makassar
terletak tidak jauh dari jalan perdagangan antara Maluku dengan daerah yang ada
di wilayah Indonesia bagian Barat, sehingga Makassar menjadi bandar pelabuhan
yang sangat ramai pada saat itu. Dengan perantaraan para pedagang Islam, daerah
sulawesi selatan memeluk Agama Islam.
Untuk
memperkuat kekuasaan dagangnya, Sultan Hasanuddin menduduki Sumbawa, sehingga
jalur pelayaran perdagangannya sepenuhnya dapat dikuasainya. Penguasaan yang
dilakukan oleh Sultan Hasanuddin itu dianggap sebagai perintang oleh Belanda
dalam aktivitas dunia perdagangan.
Di
samping itu, Sultan Hasanuddin yang yang selalu membantu rakyat Maluku
menyebabkan Belanda selalu kewalahan dalam menghadapi perlawanan tersebut.
Peperangan antara Sultan Hasanuddin dengan Belanda selalu terjadi dan setiap
peperangan mau yang di darat maupun di laut. Angkatan perang Belanda di bawah
pimpinan Cornelius Speelman selalu dapat dihalau.
Untuk
menghadapi Sultan Hasanuddin, Belanda minta bantuan Raja Bone yaitu Aru Palaka.
Dengan bantuannya, Makassar jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Hasanuddin harus
menandatangani Perjanjian Bongaya (1667) yang isinya antara lainnya:
- Sultan Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan dengan sebesar-besarnya.
- VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur dengan pusatnya Makassar.
- Wilayah Kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada zaman Sultan Hasanuddin dikembalikan kepada Aru Palaka dan diangkat menjadi Raja Bone.
EKSPANSI KERAJAAN GOWA SAJAK TAHUN 1600
Adanya ketergantungan yang saling berkaitan antara kerajaan kembar Gowa dan
Tallo selaku pusat politik dan peranan Makassar sebagai pusat perdagangan. Politik
ekspansi Gowa-tallo dan perkembangan sejarah kawasan Indonesia Timur sangat di
tentukan oleh faktor tersebut yaitu kedudukannya tergantung pada aliran
rempah-rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon dan pada produksi beras serta bahan
makanan lain untuk bekal pelayaran.
Karena
perdagangan rempah-rempah sangat vital bagi Makassar berbagai usaha untuk
menguasai daerah penghasil bahan tersebut mengancam kepentingannya, salah
satunya terjadi
konflik
dengan ternate dan pada pihak lain seperti VOC kekuasaan Gowa-Tallo menghambat
monopoli perdagangan rempah-rempah sehingga konfrontasi tak terelakkan
kehadirannya. Rivalitas kuno antara Gowa dan Bone akhirnya mengakibatkan
kemerosotan Makassar dan dengan demikian jatuhnya Kerajaan Gowa-Tallo.
Sejak ± 1600 perkembangan politik di Sulawesi Selatan dengan perang
antar-kerajaan memperoleh dimensi berkonfrontasi yaitu ditambah dengan faktor
agama islam maka konflik meningkat. Setelah Karaeng Matoaya memeluk agama islam
dan Sultan Alaudin mengeluarkan dekrit yang menyerukan warga kerajaannya untuk
memeluk islam, maka goa berusaha mengintroduksi agama islam bila perlu dengan
memeranginya. Sebagai akibat dari adanya dekrit tersebut terjadi penolakan dari
Bone, Soppeng, dan Wajo yang dianggap oleh Gowa sebagai pelecahan kemudian
meletuslah perang musu asellenge yang dimenangkan oleh Kerajaan Gowa. Dalam hal
ini ada petunjuk bahwa proses Islamisasi meningkat disebabkan oleh semangat
sufisme yang bengaruh di Gowa.
Dalam
posisi kuat Gowa berusaha memperlemah aliansi tiga kerajaan-Tellumpoco-serta
mengusahakan konsensi agar Gowa diberi wewenang menangani semua permasalahan
Sulawesi Selatan dengan pihak luar. Dan dengan diplomasinya yang cakap Gowa
berhasil mendapat pengakuan suzreinitasnya di Sulawesi Selatan tanpa perlawanan
dari Tellumpoco. Situasi ini akhirnya memberi kebebasan kepada Gowa untuk
melakukan ekspedisi ke beberapa arah.
Meskipun
kebanyakan daerah di Kepulauan Nusa Tenggara telah masuk suasana pengaruh
Makassar, namun Sultan Alaudin melakukan banyak ekspedisi dalam menghadapi
ekspansi VOC. Sebagai pembawaan hubungan perdagangan Gowa memiliki hubungan
diplomasi dengan Banjarmasin, Banten, Aceh dan Mataram. Hubungan itu diperkuat
dengan adanya perkawinan Raja Gowa dengan Putri Sunan Mataram.
Prinsip
sistem terbuka yang dianut Makassar dalam menjalankan politik perdagangannya
pada umumnya dan diplomasi terhadap VOC khususnya tampak jelas dalam
pokok-pokok persyaratan yang diajukannya terhadap VOC untuk mengadakan
perjanjian dengan VOC pada tahun 1659.
Dengan kekuasaan politik yang ada pada Gowa kebebasan berdagang diwilayahnya
lebih menguntungkan daripada merugikan sehingga perdagangan internasional dapat
menghidupi Makassar dengan segala keuntungan daripadanya. Rupanya perkembangan
perdagangan Indonesia sebelum kedatangan bangasa Barat mempunyai pola
berdasarkan sistem terbuka itu. Politik VOC ternyata bersikeras untuk
menjalankan politik monopoli. Konfrontasi antara VOC dan Makassar berlangsung
lama dan selesai setelah diadakannya perjanjian Bonggaya (1667).
Ekspansi
Gowa-Tallo berhasil meletakan hegemoni di Sulawesi Selatan dan dengan demikian
mengintegrasikan wilayah itu menjadi kesatuan politik, namun hubungan konflik
anara Gowa dan Bone membawa ketegangan politik terus menerus sehingga Pax
Sulawesiana dibawah pemerintahan Karaeng Matoya dan Sultan Alaudin tidak dapat
direalisasikan secara penuh. Diasamping perkembangan ekonomi yang pesat,
pemberontakan-pemberontkan sebagai ledakan semangat menenang yang latent
menggangu kestabilan kerajaan Gowa-Tallo.
Perdagangan
internasional yang pesat perkembangannya dalam bagian pertama abad XVII
disertai oleh pembangunan secara besar-besaran. Angkatan kapal dagang dan kapal
perang diperkuat. Didaratan digali banyak saluran-saluran air besar, benteng-benteng
dibangun dengan memakai batu merah, membentang sepanjang pantai. Industri
senjaa api dikembangkan pula. Untuk memenuhi kebutuhan mata uang dalam
perdagangan dibuat mata uang logam.
Pada
masa kejayaan Makassar itu kehidupan utama dijalankan sesuai dengan ajaran
agama, ada penghayatan kesenian dan kebudayaan dan latihan dalam berbagai
kerajinan. Disampang itu ada pula latihan dalam keterampilan menggunakan
senjata berperang. Para raja, yaitu Sultan Malikusaid dan Karaeng Pattingaloang
memberi teladan dalam berbagai bidang kehidupan.
PERTENTANGAN GOWA DAN BONE
Pada tahun 1607 Belanda berhasil mendirikan sebuah kantor dagang di makasar.
Dengan demikian kontak dengan para penguasa tradisional lebih intensif, namun
dengan terbukanya intensitifikasi kontak seperti itu membuka peluang yang besar
bagi belanda untuk menguasai secara penuh arus perdagangan memalui Sulawesi
selatan.
Kemudian
belanda menjalankan usaha untuk memperkecil penguasaan arus perdagangan. Adanya
sikap seperti itu menimbulkan reaksi dari pihak setempat,yang terkuat muncul
ketika kerajaan Gowa brada di bawah pimpinan Sultan Hasanudin. Daam Usaha
nya untuk menguasai Wilayah dan arus perdagana Sulawesi selatan itu, terdapat
keadaan dalam negeriyang cukup menguntungkan bagi belanda dan lebih memperlicin
usaha penguasaanya, yang di maksudkan ialah adanya pertentangan antara Negara
bone dengan Negara gowa. Pertentangan ini berawal dari usaha gowa untuk
memperluas dan mempertahankan kekuasaanya di wilayah kerajaan-kerajaan lainnya
di Sulawesi selatan termasuk bone. Sehubungan dengan itu arung palaka yang
merupakan salah satu penguasa bone yang berusaha untuk melepaskan diri dari
Gowa. Usaha arung palaka ini di bantu sepenuhnya oleh para pemimpin kerajaan
bone lainnya. Usaha untuk melepaskan diri dari kerajaan Gowa ini sering di
lakukan dengan cara kekerasan, sehingga penimbulkan pertempuran, pertempuran
terbesar di antara kedua Negara ini adalah pada saat menewaskan pemimpin utama
lasykar bone yaitu Tobala, pada tahun 1660. Arung palaka juga ikut dalam
pertempuran tersebut namun berhasil memololskan diri. Arung palaka
berhasil mengumpulkan 4000 orang untuk melakukan penyerangan terhadap kerajaan
gowa namun Arung palaka gagal. Kemudian Arung palaka meninggalkan bone karena
ia menyadari bahaya yang akan di hadapinya, ia mendapatkan perlindungan dari
sultan buton, dan selama tiga bulan ia berhasil menyinggir ke Batavia. Dari
situ lahirlah kerja sama antara Arung palaka dan belanda untuk menghadapi
sultan hasanudin. Dalam hal ini kerajaan gowa / Sultan Hasanudin di bantu
sepenuhnya oleh kerajaan wajo, an kerajaan Bone/Arung Palaka di bantu oleh
Kerajaan Shoppeng . kerjasama antara kedua kekuatan ini pada akhirnya
mengakhiri kekuasaan Gowa atas bone . kerjasama ini tentu saja menguntungkan belanda
karena usaha menguasai di Sulawesi selatan akan makin berhasil.
Pengentar
sejarah Indonesia baru: 1500 – 1900
PERANG MAKASAR
Hubungan
VOC dengan Makassar mau tak mau berkembang menjadi rivalitas, karena tujuan VOC
untuk memegang monopoli perdagangan langsung bertentangan dengan prinsip system
terbuka, suatu hal yang menjadi kepentingan Makassar selama berkedudukan
sebagai pusat
perdagangan
dengan hegemoni politik sebagai pendukungnya. Konflik makin memuncak sejak
tahun 1660 dengan adanya insiden – Insiden dan factor – factor lain:
- Pendudukan benteng pa’Nakkukang oleh VOC dirasakan sebagai ancaman terus – menerus terhadap VOC;
- Perisdtiwa de Walvis pada tahun 1662, waktu meriam – meriam nya dan barang – barang muatannya disita oleh pasukan Karaeng Tallo, sedang tuntunan VOC
- Peristiwa kapal Leeuwin (1664) yang terkandas di pulau Don Duango di mana anak kapal dibunuh dan sejumlah uang disita.
Untuk
menghadapi kemungkinan pecahnya perang dengan Belanda, Sultan Hasanudin pada
akhir oktober 1660 mengumpulkan semua bangsawan yang minta bersumpah setia
kepadanya. Di samping itu para vassal, Bima, Sumbawa, dan Bitung, diperintahkan
mengirim tenaga untuk pasukannya. Meskipun Sultan Hasanudin dan kelompok besar
bangsawan lebih suka politik damai, ada partai perang di bawah pimpinan Karaeng
Popo. Pertahanan dibagi menjadi atas beberapa sektor:
- Pasukan sebesar 3000 orang di bawah pimpinan Daeng Tololo, saudara laki – laki Sultan sendiri, mempertahankan bbenteng;
- Sultan Hasanudin dan Karaeng Tallo menjaga istana Sombaopu;
- Pertahankan daerah Portugis diserahkan kepada Karaeng Lengkese;
- Karaeng Karungrung sebagai komandan benteng Ujung Pandang. Wanita dan anak – anak diungsikan ke pedalaman sedang orang laki – laki dikerahkan untuk mengangkat senjata dan mempertahankan kerajaan. Dikabarkkan bahwa pasukan Makassar yang ditempatkan di tepi Sungai Kalak Ongkong ada sekitar 1500 orang, sedang di Bantaeng ada 5 sampai 6000 orang.
Bangsa
Melayu menjadi bangsa dengan kekuatan yang dapat diandalkan ileh Makassar,
antara lain karena jalannya peperangan akan menentukan mati-hidup mereka.
Pada
pertangahan 1667 ada usaha pendekatan antara Soppeng-Bone. Dengan demikian
kekuatan pasukan bisa mencapai 10 – 18.000 lebih. Pihak VOC mengirimkan 21
kapal termasuk kapal admiral dan pasukan sebanyak 1870 orang.
Jalannya
perang juga dipengaruhi oleh factor iklim, suatu factor yang sejak awal
diperhitungkan oleh pihak VOC. Sehubungan dengan itu serangan terhadap Makassar
ditunda menunggu hujan reda. Dikuatirkan bahwa pada musim itu pelabuhan Makassar
kurang aman bagi kapal – kapal. Antara tahun 1666 – 1669 selama 3 musim hujan,
ternyata tidak banyak dilakukan operasi perang.
Di
tengah – tengah masa perang, yaitu dari April sampai Juli 1668 berjangkitlah
epidemic sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi.
Tidak
boleh dilupakan bahwa dari tahun 1665 – 1667 Belanda menghadapi Inggris dalam
perang Inggris kedua, maka tidak banyak tersedia kapal dan bahan perang dikirim
ke Batavia.
Konfli
bersenjata yang berkobar antara munculnya angkatan perang VOC dalam menjalankan
penetrasi di nusantara. Berbeda dengan konfrontasi dengan Mataram (1627- 1629)
kali ini peranannya lebih ofensif. Kalau netralitas Banten dapat menyelamatkan
Batavia dari agresi Sultan Agung, dari perang Makassar ini diperoleh bantuan
yang memungkinkan kemenangan dengan aliansi dengan Arung Palaka besreta
Toangkengnya. Berkali – kali VOC akan dapat memeanfaatkan adanya faksionalisme
serta konflik atau perpecahan diantara unsure – unsure pribumi, yaitu dengan
membentuk aliansi dengan salah satu pihak. Konflik intern yang terdapat latent
dalam masyarakat pribumi member keleluasaan bagi kekuasaan colonial menjalankan
politik “de vide et impera” nya. Dengan loyalitas terbatas dalam system politik
tradisional, lagi pula batas – batas kulturdan subkulturnya, komunikasi dan
mobilisasi yang lambat dan terbatas, kesemuanyasebatas factor hambatan untuk
pembentukan front bersama. Dalam konteks social, ekonomis, politik, dan
cultural masa itu. Adalah anakronisme bila berbicara tentang dimensi nasional,
dalam arti yang dipergunakan sejak abad XIX.
Dalam
system politik zaman tersebut serta struktur kekuasaannya, VOC tidak hanya
berhasil merebut monopoli perdagangan tetapi juga menempatkan kekuasaaan
politiknya sebagai pemegang suzeirenitas di kawasan nusantara. Struktur
kelembagaan politik dipertahankan tetepi pengawasan dan
pembatasan
hubungan ada di tangan VOC. Tujuan pokok hegemoni tetap ekonomis, yaitu
memegang monopoli perdagangan. Semua perjanjian yang dipaksakan kepada kerajaan
– kerajaan mencerminkan tujuan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar