Rabu, 02 April 2014

Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Makasar



KERAJAAN PAJAJARAN

Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.

Awal Pakuan Pajajaran
            Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
            Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
            Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.
            Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.
            Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk.
            Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.
            Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.

Sumber Sejarah
            Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
            Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
            Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)
            Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar raja Pajajaran
         Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
         Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
          Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakua
          Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
         Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
         Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
         Rahyang Niskala Wastu Kencana
         Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
          Sri Baduga MahaRaja
         Hyang Wuni Sora
         Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
         dan Prabu Ratu Dewata.
Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
            Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
            Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.
            Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.
            Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.
            Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Puncak Kehancuran
            Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
            Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Kondisi Kehidupan Ekonomi
            Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
            Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
Kehidupan Budaya
            Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
Kesimpulan
·         Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
·         Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan berita asing.
·         Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.


KERAJAAN MAKASAR
PERKEMBANGAN PERDAGANGAN DAN POLITIK EKSPANSI
       Pada pertengahan abad XVII ekspor ke Malaka berupa rempah-rempah, bahan makanana, bahan wangi-wangian, penyu, dan sebagainya. Beras menjadi barang ekspor yang penting. Pala dan cengkeh didatangkan dari Banda oleh pedagang Jawa, Melayu, dan kemudian orang Banda sendiri, akhirnya pedagang Makassar juga aktif dalam perdagangan rempah-rempah itu. Setelah belanda  mulai menduduki pulau di daerah rempah-rempah itu, perdagangan yang menurut VOC disebut “selundupan” itu sangan ramai di Makassar.
Dengan perkembangan pelabuhan itu datanglah mengalir barang-banrang ke Makassar, seperti sutera dan pecah-belah Cina dengan kapal Siam dan bahan pakaian dengan kapal Portugis. Di beritakan pula bahwa di Makassar ada perdagangan budak belian.
Meskipun barang dagangan dikenakan bea-cukai 10% sehingga harga menjadi lebih mahal lagi di pasaran Malaka, namun Portugis secara teratur mengirim kepalanya ketempat tersebut, lebih-lebih setelah Belanda mulai merajalela di Maluku. Pada dasawarsa kedua abad XVII pedagang Prancis dan Denmark juga muncul di Makassar.
Kalau pada satu pihak lokasi Makassar dengan pelabuhannya yang baik sangat menarik sebagai stasiun dalam pelayaran antara Maluku dan Malaka, maka pada pihak lain kemunduran pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong perkembangannya yang pesat pada bagian kedua abad XVII. Penduduk Malaka oleh Portugis (1511) mengakibatkan pula suatu eksodus Melayu ke pelabuhan lain, antara lain ke Makassar. Makassar juga menjadi pusat pemasaran hasil dari wilayah Indonesia Timur serta tempat mengambil bahan makanan.
Makassar terletak tidak jauh dari jalan perdagangan antara Maluku dengan daerah yang ada di wilayah Indonesia bagian Barat, sehingga Makassar menjadi bandar pelabuhan yang sangat ramai pada saat itu. Dengan perantaraan para pedagang Islam, daerah sulawesi selatan memeluk Agama Islam.
Untuk memperkuat kekuasaan dagangnya, Sultan Hasanuddin menduduki Sumbawa, sehingga jalur pelayaran perdagangannya sepenuhnya dapat dikuasainya. Penguasaan yang dilakukan oleh Sultan Hasanuddin itu dianggap sebagai perintang oleh Belanda dalam aktivitas dunia perdagangan.
 Di samping itu, Sultan Hasanuddin yang yang selalu membantu rakyat Maluku menyebabkan Belanda selalu kewalahan dalam menghadapi perlawanan tersebut. Peperangan antara Sultan Hasanuddin dengan Belanda selalu terjadi dan setiap peperangan mau yang di darat maupun di laut. Angkatan perang Belanda di bawah pimpinan Cornelius Speelman selalu dapat dihalau.
Untuk menghadapi Sultan Hasanuddin, Belanda minta bantuan Raja Bone yaitu Aru Palaka. Dengan bantuannya, Makassar jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya (1667) yang isinya antara lainnya:
  1. Sultan Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan dengan sebesar-besarnya.
  2. VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur dengan pusatnya Makassar.
  3. Wilayah Kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada zaman Sultan Hasanuddin dikembalikan kepada Aru Palaka dan diangkat menjadi Raja Bone.
EKSPANSI KERAJAAN GOWA SAJAK TAHUN 1600
            Adanya ketergantungan yang saling berkaitan antara kerajaan kembar Gowa dan Tallo selaku pusat politik dan peranan Makassar sebagai pusat perdagangan. Politik ekspansi Gowa-tallo dan perkembangan sejarah kawasan Indonesia Timur sangat di tentukan oleh faktor tersebut yaitu  kedudukannya tergantung pada aliran rempah-rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon dan pada produksi beras serta bahan makanan lain untuk bekal pelayaran.
Karena perdagangan rempah-rempah sangat vital bagi Makassar berbagai usaha untuk menguasai daerah penghasil bahan tersebut mengancam kepentingannya, salah satunya terjadi
konflik dengan ternate dan pada pihak lain seperti VOC kekuasaan Gowa-Tallo menghambat monopoli perdagangan rempah-rempah sehingga konfrontasi tak terelakkan kehadirannya. Rivalitas kuno antara Gowa dan Bone akhirnya mengakibatkan kemerosotan Makassar dan dengan demikian jatuhnya Kerajaan Gowa-Tallo.
            Sejak  ± 1600 perkembangan politik di Sulawesi Selatan dengan perang antar-kerajaan memperoleh dimensi berkonfrontasi yaitu ditambah dengan faktor agama islam maka konflik meningkat. Setelah Karaeng Matoaya memeluk agama islam dan Sultan Alaudin mengeluarkan dekrit yang menyerukan warga kerajaannya untuk memeluk islam, maka goa berusaha mengintroduksi agama islam bila perlu dengan memeranginya. Sebagai akibat dari adanya dekrit tersebut terjadi penolakan dari Bone, Soppeng, dan Wajo yang dianggap oleh Gowa sebagai pelecahan kemudian meletuslah perang musu asellenge yang dimenangkan oleh Kerajaan Gowa. Dalam hal ini ada petunjuk bahwa proses Islamisasi meningkat disebabkan oleh semangat sufisme yang bengaruh di Gowa.
Dalam posisi kuat Gowa berusaha memperlemah aliansi tiga kerajaan-Tellumpoco-serta mengusahakan konsensi agar Gowa diberi wewenang menangani semua permasalahan Sulawesi Selatan dengan pihak luar. Dan dengan diplomasinya yang cakap Gowa berhasil mendapat pengakuan suzreinitasnya di Sulawesi Selatan tanpa perlawanan dari Tellumpoco. Situasi ini akhirnya memberi kebebasan kepada Gowa untuk melakukan ekspedisi ke beberapa arah.
Meskipun kebanyakan daerah di Kepulauan Nusa Tenggara telah masuk suasana pengaruh Makassar, namun Sultan Alaudin melakukan banyak ekspedisi dalam menghadapi ekspansi VOC. Sebagai pembawaan hubungan perdagangan Gowa memiliki hubungan diplomasi dengan Banjarmasin, Banten, Aceh dan Mataram. Hubungan itu diperkuat dengan adanya perkawinan Raja Gowa dengan Putri Sunan Mataram.
Prinsip sistem terbuka yang dianut Makassar dalam menjalankan politik perdagangannya pada umumnya dan diplomasi terhadap VOC khususnya tampak jelas dalam pokok-pokok persyaratan yang diajukannya terhadap VOC untuk mengadakan perjanjian dengan VOC pada tahun 1659.
            Dengan kekuasaan politik yang ada pada Gowa kebebasan berdagang diwilayahnya lebih menguntungkan daripada merugikan sehingga perdagangan internasional dapat menghidupi Makassar dengan segala keuntungan daripadanya. Rupanya perkembangan perdagangan Indonesia sebelum kedatangan bangasa Barat mempunyai pola berdasarkan sistem terbuka itu. Politik VOC ternyata bersikeras untuk menjalankan politik monopoli. Konfrontasi antara VOC dan Makassar berlangsung lama dan selesai setelah diadakannya perjanjian Bonggaya (1667).
Ekspansi Gowa-Tallo berhasil meletakan hegemoni di Sulawesi Selatan dan dengan demikian mengintegrasikan wilayah itu menjadi kesatuan politik, namun hubungan konflik anara Gowa dan Bone membawa ketegangan politik terus menerus sehingga Pax Sulawesiana dibawah pemerintahan Karaeng Matoya dan Sultan Alaudin tidak dapat direalisasikan secara penuh. Diasamping perkembangan ekonomi yang pesat, pemberontakan-pemberontkan sebagai ledakan semangat menenang yang latent menggangu kestabilan kerajaan Gowa-Tallo.
Perdagangan internasional yang pesat perkembangannya dalam bagian pertama abad XVII disertai oleh pembangunan secara besar-besaran. Angkatan kapal dagang dan kapal perang diperkuat. Didaratan digali banyak saluran-saluran air besar, benteng-benteng dibangun dengan memakai batu merah, membentang sepanjang pantai. Industri senjaa api dikembangkan pula. Untuk memenuhi kebutuhan mata uang dalam perdagangan dibuat mata uang logam.
Pada masa kejayaan Makassar itu kehidupan utama dijalankan sesuai dengan ajaran agama, ada penghayatan kesenian dan kebudayaan dan latihan dalam berbagai kerajinan. Disampang itu ada pula latihan dalam keterampilan menggunakan senjata berperang. Para raja, yaitu Sultan Malikusaid dan Karaeng Pattingaloang memberi teladan dalam berbagai bidang kehidupan.
PERTENTANGAN GOWA DAN BONE
            Pada tahun 1607 Belanda berhasil mendirikan sebuah kantor dagang di makasar. Dengan demikian kontak dengan para penguasa tradisional lebih intensif, namun dengan terbukanya intensitifikasi kontak seperti itu membuka peluang yang besar bagi belanda untuk menguasai secara penuh arus perdagangan memalui Sulawesi selatan.
Kemudian belanda menjalankan usaha untuk memperkecil penguasaan arus perdagangan. Adanya sikap seperti itu menimbulkan reaksi dari pihak setempat,yang terkuat muncul ketika  kerajaan Gowa brada di bawah pimpinan Sultan Hasanudin. Daam Usaha nya untuk menguasai Wilayah dan arus perdagana Sulawesi selatan itu, terdapat keadaan dalam negeriyang cukup menguntungkan bagi belanda dan lebih memperlicin usaha penguasaanya, yang di maksudkan ialah adanya pertentangan antara Negara bone dengan Negara gowa. Pertentangan ini berawal dari usaha gowa untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaanya di wilayah kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi selatan termasuk bone. Sehubungan dengan itu arung palaka yang merupakan salah satu penguasa bone yang berusaha untuk melepaskan diri dari Gowa. Usaha arung palaka ini di bantu sepenuhnya oleh para pemimpin kerajaan bone lainnya. Usaha untuk melepaskan diri dari kerajaan Gowa ini sering di lakukan dengan cara kekerasan, sehingga penimbulkan pertempuran, pertempuran terbesar di antara kedua Negara ini adalah pada saat menewaskan pemimpin utama lasykar bone yaitu Tobala, pada tahun 1660. Arung palaka juga ikut dalam pertempuran tersebut namun berhasil memololskan diri. Arung palaka  berhasil mengumpulkan 4000 orang untuk melakukan penyerangan terhadap kerajaan gowa namun Arung palaka gagal. Kemudian Arung palaka meninggalkan bone karena ia menyadari bahaya yang akan di hadapinya, ia mendapatkan perlindungan dari sultan buton, dan selama tiga bulan ia berhasil menyinggir ke Batavia. Dari situ lahirlah kerja sama antara Arung palaka dan belanda untuk menghadapi sultan hasanudin. Dalam hal ini kerajaan gowa / Sultan Hasanudin di bantu sepenuhnya oleh kerajaan wajo, an kerajaan Bone/Arung Palaka di bantu oleh Kerajaan Shoppeng . kerjasama antara kedua kekuatan ini pada akhirnya mengakhiri kekuasaan Gowa atas bone . kerjasama ini tentu saja menguntungkan belanda karena usaha menguasai di Sulawesi selatan akan makin berhasil.
Pengentar sejarah Indonesia baru: 1500 – 1900
PERANG MAKASAR
Hubungan VOC dengan Makassar mau tak mau berkembang menjadi rivalitas, karena tujuan VOC untuk memegang monopoli perdagangan langsung bertentangan dengan prinsip system terbuka, suatu hal yang menjadi kepentingan Makassar selama berkedudukan sebagai pusat
perdagangan dengan hegemoni politik sebagai pendukungnya. Konflik makin memuncak sejak tahun 1660 dengan adanya insiden – Insiden dan factor – factor lain:
  1. Pendudukan benteng pa’Nakkukang oleh VOC dirasakan sebagai ancaman terus – menerus terhadap VOC;
  2. Perisdtiwa de Walvis pada tahun 1662, waktu meriam – meriam nya dan barang – barang muatannya disita oleh pasukan Karaeng Tallo, sedang tuntunan VOC
  3. Peristiwa kapal Leeuwin (1664) yang terkandas di pulau Don Duango di mana anak kapal dibunuh dan sejumlah uang disita.
Untuk menghadapi kemungkinan pecahnya perang dengan Belanda, Sultan Hasanudin pada akhir oktober 1660 mengumpulkan semua bangsawan yang minta bersumpah setia kepadanya. Di samping itu para vassal, Bima, Sumbawa, dan Bitung, diperintahkan mengirim tenaga untuk pasukannya. Meskipun Sultan Hasanudin dan kelompok besar bangsawan lebih suka politik damai, ada partai perang di bawah pimpinan Karaeng Popo. Pertahanan dibagi menjadi atas beberapa sektor:
  1. Pasukan sebesar 3000 orang di bawah pimpinan Daeng Tololo, saudara laki – laki Sultan sendiri, mempertahankan bbenteng;
  2. Sultan Hasanudin dan Karaeng Tallo menjaga istana Sombaopu;
  3. Pertahankan daerah Portugis diserahkan kepada Karaeng Lengkese;
  4. Karaeng Karungrung sebagai komandan benteng Ujung Pandang. Wanita dan anak – anak diungsikan ke pedalaman sedang orang laki – laki dikerahkan untuk mengangkat senjata dan mempertahankan kerajaan. Dikabarkkan bahwa pasukan Makassar yang ditempatkan di tepi Sungai Kalak Ongkong ada sekitar 1500 orang, sedang di Bantaeng ada 5 sampai 6000 orang.
Bangsa Melayu menjadi bangsa dengan kekuatan yang dapat diandalkan ileh Makassar, antara lain karena jalannya peperangan akan menentukan mati-hidup mereka.
 Pada pertangahan 1667 ada usaha pendekatan antara Soppeng-Bone. Dengan demikian kekuatan pasukan bisa mencapai 10 – 18.000 lebih. Pihak VOC mengirimkan 21 kapal termasuk kapal admiral dan pasukan sebanyak 1870 orang.
Jalannya perang juga dipengaruhi oleh factor iklim, suatu factor yang sejak awal diperhitungkan oleh pihak VOC. Sehubungan dengan itu serangan terhadap Makassar ditunda menunggu hujan reda. Dikuatirkan bahwa pada musim itu pelabuhan Makassar kurang aman bagi kapal – kapal. Antara tahun 1666 – 1669 selama 3 musim hujan, ternyata tidak banyak dilakukan operasi perang.
Di tengah – tengah masa perang, yaitu dari April sampai Juli 1668 berjangkitlah epidemic sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi.
Tidak boleh dilupakan bahwa dari tahun 1665 – 1667 Belanda menghadapi Inggris dalam perang Inggris kedua, maka tidak banyak tersedia kapal dan bahan perang dikirim ke Batavia.
Konfli bersenjata yang berkobar antara munculnya angkatan perang VOC dalam menjalankan penetrasi di nusantara. Berbeda dengan konfrontasi dengan Mataram (1627- 1629) kali ini peranannya lebih ofensif. Kalau netralitas Banten dapat menyelamatkan Batavia dari agresi Sultan Agung, dari perang Makassar ini diperoleh bantuan yang memungkinkan kemenangan dengan aliansi dengan Arung Palaka besreta Toangkengnya. Berkali – kali VOC akan dapat memeanfaatkan adanya faksionalisme serta konflik atau perpecahan diantara unsure – unsure pribumi, yaitu dengan membentuk aliansi dengan salah satu pihak. Konflik intern yang terdapat latent dalam masyarakat pribumi member keleluasaan bagi kekuasaan colonial menjalankan politik “de vide et impera” nya. Dengan loyalitas terbatas dalam system politik tradisional, lagi pula batas – batas kulturdan subkulturnya, komunikasi dan mobilisasi yang lambat dan terbatas, kesemuanyasebatas factor hambatan untuk pembentukan front bersama. Dalam konteks social, ekonomis, politik, dan cultural masa itu. Adalah anakronisme bila berbicara tentang dimensi nasional, dalam arti yang dipergunakan sejak abad XIX.
 Dalam system politik zaman tersebut serta struktur kekuasaannya, VOC tidak hanya berhasil merebut monopoli perdagangan tetapi juga menempatkan kekuasaaan politiknya sebagai pemegang suzeirenitas di kawasan nusantara. Struktur kelembagaan politik dipertahankan tetepi pengawasan dan
pembatasan hubungan ada di tangan VOC. Tujuan pokok hegemoni tetap ekonomis, yaitu memegang monopoli perdagangan. Semua perjanjian yang dipaksakan kepada kerajaan – kerajaan mencerminkan tujuan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wavy Tail
divine-music.info
divine-music.info

divine-music.info